Senin, 26 September 2011

CERPEN BUAT KEKASIHKU TERSAYANG


Kau Bukakan Mataku
14 Oktober 2005. Adikku, Muhammad Giovanni lahir kedunia. Awalnya, aku merasa senang sekali. Karena ia adalah adik pertamaku yang laki-laki. Sebenarnya, aku sudha punya adik sebelumnya. Namanya Saniya dan dia seorang perempuan.
Adikku ini lucu sekali. Pipinya tembem, Hidungnya pesek, bibirnya mungil dan matanya indah. Aku sangat menyayanginya.
Hingga suatu hari, aku mendapat kenyataan. Adikku merupakan penderita Down Syndrome, yaitu kelainan kromosom. Ini bukan penyakit, tapi merupakan sebuah keterbelakangan mental. Anak Down Syndrome memiliki ciri-ciri muka seperti orang Mongolia dan berjari pendek. Tumbuh kembang anak Down Syndrome sangat lambat. Lihat saja adikku ini. Kini, umurnya sudah 6 tahun, tapi belum lancar berbicara.
Meskipun begitu, aku langsung bisa menerima adikku apa adanya dia. Karena bagiku, dia bukan musibah, melainkan sebuah anugerah terindah. Aku yakin, Tuhan menitipkan anak seperti dia pada kami karena Dia percaya kami, bahwa kami bisa menjaganya, mendidiknya dan membesarkannya.
Mamaku berulang kali menasihatiku dan adikku Saniya, “Nanti, kalau sudah Mama sama Papa sudah nggak ada, jaga Gio. Sayangi adiknya. Jangan dikasari, jangan  dimarahi. Yang sabar kalau sama Gio. Karena bagaimanapun dia, dia itu titipan dari Tuhan. Tuhan percaya sama kita, bahwa  kita  sanggup menjaga  anak  special seperti dia. Ya?” kata Mamaku.
Ya, aku sangat menyayangi Gio. Apapun dia.
Kini, Gio bersekolah di SLB Cemara Wilis tingkat TK. Disana ia dididik oleh guru-guru yang khusus untuk menangani anak seperti Gio. Dikelasnya, Gio yang paling bandel diantara teman-temannya. Dia juga yang paling malas.
Teman-temannya yang Down Syndrome seperti dia banyak yang sudah bisa diajak berkomunikasi dengan lancar. Banyak yang sudah mengerti perintah. Tapi Gio?
Hahaha. Adikku ini semau-maunya sendiri. Ketika ia rajin-rajinnya, maka, ia akan mengerti perintah dan mau duduk manis belajar dengan tenang. Namun, ketika malasnya sudah keluar? Jangan pernah berharap Gio akan menatap wajah kalian ketika kalian mencoba mengajaknya berbicara. Ia akan berbicar semaunya sendiri dan mengoceh layaknya anak umur 2 tahun. Bagiku, ini adalah hal yang paling menggemaskan yang pernah kutahu.
Mengajari anak seperti Gio memang dibutuhkan kesabaran ekstra. Pernah suatu ketika, aku mencoba mengajarinya mengenaik anggota tubuh. Tapi, mungkin karena waktu itu moodnya sedang tidak baik, jadi ia tidak mendengarkanku sama sekali.
“Gio… belajar yuk…” Sapaku ramah.
Gio masih tengkurap di lantai dengan santainya dan mengejan, “Ernggh……….”
“Gio… Ayok, belajar yok…” Kali ini aku mencoba mengangkat badannya. Namun, ia mengakukan badannya sehingga aku keberatan untuk mengangkatnya.
“Gio… pintar ya, belajar ya. Supaya pin…” namun, sebelum kata-kataku selesai, eh… ia malah menjawabnya dengan suara kentut. Lantas ia tertawa gelid an berkata. “Supaya… kentut…”
Aku berusaha menahan tawa. Aku berusaha mencoba lagi agar Gio mau duduk manis.
“Gio, ayok.. duduk manis ya…”
Tanpa kuduga, tiba-tiba Gio berteriak “TIDAK MAU!!” dengan nada marah.
“Gio, Ayo belajar!” Aku mencoba mengeraskan suaraku.
“Argh!!” Geramnya.
“Gio….”
“ARGH!”
“Gio…”
“TIDAK MAU!”
“Gio…”
“ARGH!!!”
“GIO!” bentakku. Kesabaranku sudah habis. Aku mengangkat badannya dengan kasar. Tanpa kuduga, ia malah mencakari tanganku dan menjambaki rambutku. Aku pun menjerit kesakitan.
“GIO!! GIO!! TIDAK BOLEH! SAKIT, GIO!!” Jeritku.
Gio tidak mendegarkanku. Ia terus menjambaki rambutku dengan marah. Aku kemudian menahan lengannya dan memukul tangannya.
“GIO JELEK! NAKAL!!” kataku.
Tapi, Gio kemudian menatapku sedih. Matanya berkaca-kaca dan akan segera menangis. Melihatnya aku langsung panik. Dan benar, ia langsun menangis sekencang-kencangnya.
Mama langsun mendatangi kami. Gio merengek untuk digendong. Aku melapor pada Mama. Namun, Mama kemudian menasihatiku, “Al, kalau sama Gio itu yang sabar. Dia nggak kayak anak normal biasa. Memang butuh kesabaran ekstra untuk menanganiya. Meskipun Gio belum bisa diajak bicara, namun dia pintar untuk membaca hati orang-orang terdekatnya, seperti Mama, kamu, Saniya dan Papa. Gio tidak bisa dibentak atau dimarahi. Perasaannya sangat lembut. Kamu harus ngerti itu.”
Aku terdiam. Mungkin caraku memang salah. Aku melihat Gio masih menangis sambil memasukkan ibu jari tangannya kedalam mulutnya.
Beberapa saat kemudian, ketika Gio sudah mulai tenang, aku mencoba mendekatinya lagi. Namun, aku akan mencoba denan cara yang lebih lembut.
“Gio…” kataku sambil mengelus kepalanya. “Maaf ya, sayang ya. Gio nakal, sih…” kataku lagi.
“Gio yang pintar, ya. Ayo, kita belajar yok, supaya pintar, ya sayang ya?” tanyaku lembut sambil mengelus kepalanya.
Gio menengok padaku dan ia terdiam. Aku tersenyum. Aku pun segera mengambil kumpulan kartu bergambar dan mencoba mengajarinya.
“Mata…” kataku sambil menunjukkan gambar mata.
Gio hanya memandang kartu tersebut dan tidak mau menirukanku sama sekali.
“Hidung…” kataku sambil menunjukkan gambar hidung.
Lagi-lagi ia hanya menatap dan tidak mau menirukannya.
“Telinga…” kataku sambil menunjukkan gambar telinga.
Dan lagi-lagi, Gio tidak mau mengcapkannya.
“Alis…” kataku sambil menunjukkan gambar alis.
“Alish…”Akhirnya Gio mau menirukanku. Aku tersenyum senang da lega. Tiba-tiba aku teringat pada sebuah artikel yang pernah kubaca tentan cara mendidik anak seperti Gio. Bahwa kita harus langsung memberikan penghargaan begitu dia berhasil menjalankan peirntah, mengikuti pelajaran atau mau menurut.
“YE… Pintar Gio, pintar Gio!” sorakku sambil tersenyum. “Tepuk tangan dulu, tepuk tangan…!” kataku sambil memeragakan gerkan tepuk tangan.
“Teppu… tannan…” kata Gio sambil mengikuti gayaku. Aduh lucu sekali….
Ternyata, apa yang Mama katakana benar. Kita memang harus super sabar menghadapi anak berkebutuhan khusus seperti Gio. Karena, mereka tidak seperti anak normal biasanya yang mudah langsung mengerti. Tapi, bagi mereka itu butuh proses. Dan proses itu sangat sulit bagi mereka.
O,ya. Waktu kami sekeluarga berjalan-jalan di department store, kami sedang mengantri untuk membayar. WAktu itu Gio digendong oleh papaku. Tapi karena ia terus meronta-ronta dengan gaya yang tak wajar, orang-orang pun mulai melirik io dengan tatapan aneh. Sampai-sampai ada seorang pramuniaga yang menatap gio secara heran sampai kami keluar dari antrian kasir.
Bagiku, ditatap aneh seperti itu adalah  suatu hal yang sudah biasa. Ketika ditatap seperti itu memang muncul perasaan sebal, kesal, dan jengkel. Tapi, kita tidak perlu malu memiliki saudara seperti itu. Itu hanya tatapan yang sebentar saja. Kita tak perlu menggubrisnya dan tak usah sewot dengan tatapan seperti itu.
Yah, Gio sudah membuka mataku. Ia menunjukkan padaku bahwa ada sisi kehidupan lain di masyarakat. Ada beberapa anak-anak yang diberikan Tuhan kelebihan khusus baginya.Ya, sperti adikku Gio.
Di sekolah Gio ada anak penderita autis, ADHD, CP, Tunarungu dan Tuna grahita (keterbelakangan mental). Ingat teman, mereka bukan suatu momok yang aneh, menjijikkan, memalukan dan perlu diajuhi. MEREKA JUGA BUKAN BAHAN OLOKAN.  Namun mereka hanyalah sosok yang butuh perhatian khusus dan pengertian yang berlebih dari kita. Butuh dorongan agar mereka bisa maju.  Mereka menjadi seperti ini pun bukan kemauan mereka, ‘kan? Andai mereka bisa memilih, tentu mereka tidak akan memilih pilihan ini.
Sebenarnya mereka memiliki semangat yang jauh luar biasa dari kita, orang yang normal. Yaitu semangat untuk maju, semangat untuk melangkah dari semua keterbatasan dan kekurangannya. Karena bagi mereka, pertanyaan-pertanyaan sederhana  “Siapa namamu?” adalah pertanyaan yang sulit. Oleh karena itu, mereka akan terus berusaha dan berlatih agar bisa menjawab pertanyaan itu.
Teman, aku sadar. Kita yang terlahir normal mudah sekali menyerah jika dibandingkan dengan anak-anak yang berkebutuhan khusus tadi. Jadi, jika mereka saja bisa semangat sehingga berhasil mencapai target, kenapa kita tidak? Kenapa kita bisa kalah dengan mereka, yang terlahir dengan serba kekurangan. Oleh karena itu, ayo. Mulai sekarang, ayo terus motivasi diri kita dan bersemangatlah!
Nah, hal itulah yang kupelajari dari Gio, adikku yan sangat kusayangi. Terima kasih telah mengajarkan hal yang sangat berharga ini Gio. Meskipun bagi sebagian orang yang tidak memahamimu kau adalah hal yang aneh dan menakutkan, bagiku kau merupakan hal terbaik yang pernah kudapat. Mbak Aliya dan Mbak Saniya akan terus berusaha menjadi kakak yang baik bagimu. Menjadi kakak yang mampu menuntunmu dan mengajarimu. Sama seperti kau yang telah membukakan mataku dan mengajari hal yang berharga ini. Terima kasih ya dek, I Love You…

Didedikasikan untuk adikku tersayang, Muhammad Giovanni
Aliya Wardhani, 9 Bilingual 1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar