Senin, 22 Agustus 2011

Tugas Membaca IX BL1 dan IX BL2


 KAU TAK SALAH LIHAT, ANJANI
Syalruddin Pemyata
-SUDAH dipikirkan secara matang, sudah dipertimbangkan masak-masak, sudah diyakini secara benar, tidak ada pilihan lain kecuali mendamprat cowok tak tabu diuntung itu. Begi­rulah sikap yang harus ditunjukkan Anjani, ketika mendengar bahwa dirinyalah yang menyimpan simpati, menabur benih­benih kasih pada Taufik, cowok kampungan di kelas III Al.
Maka, bulatlah sudah tekad Anjani untuk melabrak Taufik pada jam istirahat nanti. Tinggal lima belas menit, keluhnya. Bagi Anjani tak jadi soal, kalau itu benar, tetapi ini jauh panggang dari api. Siapa pula yang menebar isu?
Bahwa Taufik simpatik, is tak menolak. Bahwa Taufik ter­bilang pandai, itu juga benar, tetapi bahwa Anjani yang tergila‑
gila nanti dulu. Adalah juga benar jika Leila memang mencoba merebut simpati cowok play boyitu, adalah bukan isu jika Miske
pun berusaha menaklukkan cowok itu. Tapi, Anjani tidak, sungguh, sama sekali tidak.
"Kamu kira kegagahanmu dapat kau jual untuk siapa saja, he?" bentak Anjani tanpa basa-basi lagi ketika Taufik dengan tenang melangkah mendekati teman-temannya di dekat aula sekolah.
"Maaf, Anjani ...."
"Apo, kamu kira menebar isu adalah cara terhormat untuk
menarik simpati?"
"Maaf, Anjani ...."
"Maaf, maaf. Kamu jangan merasa hebat, Taufik. Untuk kamu tahu saja, aku bukan termasuk katagori wanita murahan, yang harus takluk di depanmu, walau seribu janji gombal seperti yang selalu kau sebarkan pada setiap gadis yang dekat denganmu," sumpah serapah Anjani tak terbendung lagi.
Sementara itu Taufik tak mampu berkata-kata lagi, karena Anjani memang tidak memberi kesempatan lelaki itu bercuap­cuap. Bagaimana tidak kesal, dua orang temannya mengadu bahwa Taufik menolak surat cinta Anjani yang dikirim dua hari
lalu.
Sungguh mampus, berani sumpah, tak pernah Anjani ber­kirim surat untuk Taufik. Celakanya, kabar buruk penolakan Taufik justru disampaikan Yulis dan Rinda yang memang terkenal usil. "Taufik mengatakan padaku bahwa sama sekali tak pernah terbayangkan kalau kau mencintainya," lapor Yulis pagi tadi, sebelum bel masuk berbunyi. Inilah pangkal kemarahan Anjani.
"Beni aku kesempatan bicara," kata Taufik dengan tenang. Tetapi kemarahan yang telah memenuhi otak Anjani tak lagi mengenal kompromi.
"Kampungan!" bentak Anjani pada Taufik, seraya melengos pergi meninggalkan cowok itu yang tetap termangu, sementara beberapa pasang mata memperhatikan tontonan gratis tersebut.
* * *
Dua belas hari sudah peristiwa itu berlalu. Taufik pun akhirnya mengetahui pangkal tolak kemarahan sekretaris OSIS yang terkenal dingin soal pacaran, tetapi bersemangat jika bicara tentang alam.
Semenit pun tak pernah Anjani mau memberi kesempatan
kepada Taufik untuk bicara, walau Taufik sendiri telah ber­usaha menemuinya, tidak saja di sekolah, pun juga di rumah.
Adalah juga tidak benar bahwa Taufik pernah mcngatakan menolak cinta Anjani. Bagaimana mungkin ia menolak, sebab jangankan surat, kilatan mata Anjani saja tak pernah ia terima.
Tetapi, dari manakah sumber isu yang menjadi petaka itu bermula?
Taufik juga tidak tahu. Itulah sebabnya, bcbcrapa kali ia minta kesempatan untuk bcrbicara pada Anjani, tetapi gadis yang sangat manis dan menyukai warna merah muda itu tak pernah memberi kesempatan.
"Aku bukan laki-laki pengecut. Kalau memang aku naksir, aku mampu menyampaikannya sendiri. Pada siapa pun, juga pada Anjani. Tetapi, aku juga tidak pernah merasa jatuh cinta padanya. Sungguh. Adalah isu yang tidak bertanggung jawab," kata Taufik pada Herman, sahabat kentalnya, suatu sore di kost.
Taufik dan Herman memang anak kost. Keduanya datang dari Pulau Kalimantan bagian timur, tepatnya Balikpapan, mengadu nasib untuk masuk UGM kelak. Untuk itu perlu penyesuaian pelajaran, dan lingkungan Yogyakarta.
"Lalu, mengapa kaubiarkan?"
"Aku sudah berusaha menjelaskannya, Her. Tetapi, tak ada kesempatan."
"Labrak saja ketika ia ke luar kelas, seperti yang pernah ia lakukan padamu."
"Itulah yang aku hindari. Wanita memang begitu, apalagi seusia dia. Kau tahu sendiri `kan, perasaan lebih banyak berbi­cara daripada otak bagi mereka. Itu kodrat. Jangan ingkari. Tetapi kita lelaki. Adalah banci bagi kita jika menyelesaikan dengan perasaan, sekadar untuk menekan kebenaran yang se­benarnya tersimpan di otak kita *
"Lalu, bagaimana?"
"Tuhan mengajarkan kita untuk bersabar. Bukti telah me­nunjukkan bahwa kecintaan adalah obat melawan kebencian, seperti juga yang Mahatma Gandhi ajarkan."
"Ah, sok kamu."
"Bukan sok. Kau jangan salah paham. Apakah yang lebih sakit bagi seseorang jika kesalahan yang ia lakukan akhirnya ia sadari sendiri?"
"Jadi kau akan mengambil sikap diam, sampai ia sendiri kelak tahu, bahwa isu itu tidak benar? Mustahil."
Taufik tak menyahut lagi.
Bel berdentang tiga kali. Usai sudah "indoktrinasi" para guru, begitu kata Yulis. Sejak pagi Yulis memang tak menam­pakkan rasa betah di kelas. Itu terjadi lantaran bencinya pada Miske sudah tak mampu ia bendung lagi.
Yulis menghambur ke luar. Ditunggunya Miske dengan rasa amarah yang luar biasa.
"Kamu perempuan macam apa, Miske?"
"Lho?"
"Ya, apa maksudmu menjelek-jelekkan namaku di depan Ibu Wali Kelas?"
"Lho?"
"Jangan lho-lho saja. Dasar perempuan kampungan, udik." "Yulis, kenapa kamu tiba-tiba marah? Aku merasa tak per­nah berbuat seperti yang kautuduhkan."
"Apo? Tak pernah berbuat, katamu? Baru saja Burhan menceritakannya padaku, kalau kau menjelek-jelekkan namaku pada Ibu Wali Kelas, sebagai biang onar. Bahkan, tulisan di papan tulis yang menyindir gaya Ibu Wali Kelas berjalan, kau sebut pula aku yang menulis. Aku tahu, kau kecewa tak berhasil meraih simpati Taufik karena Taufik di depan matamu sendiri telah kau lihat lebih rela berjalan di sampingku. Yang fair sajalah." "Kau keterlaluan, Yulis. Aku tak pernah merasa begitu
Justru kalau kau mau jujur, kaulah sebenarnya yang harus malu. Apakah perlu kuceritakan pada scmua orang tentang sifat irimu?"
Kedua gadis ini tak menyadari lagi kalau di dckat mereka Anjani memperhatikan adu mulut yang mulai seru itu.
"Sudah-sudah. Tidakkah kalian malu dilihat orang?" kata Anjani pada Yulis dan Miske.
Yulis gelagapan. Ia tak menyangka kalau ada Anjani di situ. Sementara Miske juga salah tingkah. Tapi, bagi Miske sudah kepalang basah, sudah lama ia benci pada Yulis, karena si­kapnya yang selalu tak bersahabat.
"Kebetulan kau datang, Anjani. Bukankah kau pernah men­dengar bahwa cintamu ditolak Taufik? Itu kan tidak benar. Kau tahu darimana sumbcr isu itu? Nab, sekarang kau ber­hadapan dengannya. Inilah sumber isu yang amat meresah­kanmu," ujar Miske seraya menudingkan tangannya pada Yulis.
Gadis yang dituding yang semula berani membentak-ben­tak Miske akhirnya terdiam. Dunia bagai terpecah-pecah dan dirinya melayang entah ke mana. Miske benar, dirinyalah yang telah membuat isu bahwa Taufik menolak cinta Anjani. Isu tersebut terpaksa ia sebarkan, karena sakit hatinya pada Anjani. Ternyata diam-diam ia pernah mendengar kalau Taufik naksir pada Anjani.
"Benarkah itu, Yulis?" tanya Anjani.
Yulis tak mampu berbuat, tak mampu berkata-kata, tak mampu untuk menyisih, walau hatinya mengatakan tinggalkan saja kedua musuhnya.
"Maafkan aku, Anjani."
Anjani tak menyangka kalau Yulis-lah biang keladinya. Ada rasa jengkelnya pada Yulis. Tetapi, entahlah, ia sendiri tak tahu harus mengatakan apa.
Tiba-tiba, Yulis memeluk Anjani erat-erat. Jelas sekali ter­dengar oleh Anjani isakan Yulis.
"Sudahlah, lupakan itu dan lebih baik kau selesaikan persoalanmu dengan Miske," ujar Anjani menasihati. Tetapi, Miske sudah pergi.
* * *
Seperti malam Minggu yang sudah-sudah, Anjani hanya di rumah. Tetapi, kali ini ia merasa amat kesepian. Peristiwa tadi siang benar-benar menghantui dirinya. Bayangan Taufik mun­cul di pelupuk matanya.
Telah beberapa kali lelaki itu ingin bicara padanya, tetapi Anjani selalu menolak, karena tak pernah sekilas pun ia lihat bahwa Taufik telah menyadari kesalahannya, kecuali hanya se­kadar minta waktu untuk bicara, hanya itu.
Kini, justru bayangan Taufik muncul dalam sosok lain. So­sok sebagai orang yang tak berdosa, yang dengan tanpa jelas dulu permasalahannya, sudah divonis oleh Anjani sebagai lelaki tak tahu diuntung.
Lalu, bagaimanakah caranya menyatakan penyesalan pada Taufik?
Haruskah ia menanggung malu karena telah menghina Taufik? Ingat Taufik, Anjani semakin resah dan kadang-kadang bencinya pada Yulis muncul. Tapi, sudahlah, bukankah ia telah memaaf­kannya?
Lalu bagaimana dengan Taufik? Ya, harus bagaimana?
Jam dinding berdentang dua belas kali. Semakin larut, se­makin Anjani tak mampu meraih kantuk agar lepas dari pro­blema yang tak mampu ia selesaikan.
* * *
Hari ini, agak lebih pagi Anjani pergi ke sekolah. Telah ia putuskan untuk bertemu Taufik dan meminta maaf atas ke­kefiruannya
Seharian ia mengurung din di kamar hari Minggu kemarin. Dan akhirnya tiba pada satu kesimpulan bahwa ia harus berani menanggung risiko malu daripada dihantui perasaan bersalah pada Taufik, apalagi ujian semester tinggal setengah bulan.
Beberapa temannya sudah tiba, tetapi Taufik yang ditung­gu belum juga muncul. Anjani semakin gelisah saja. Ke mana lelaki itu?
Pertanyaan tersebut tak kunjung juga terjawab, bahkan ke­tika bel pertanda jam pelajaran berakhir, Taufik tidak juga da­tang. Tak biasanya Taufik alpa.
Terbersit keinginan untuk bertanya pada teman-temannya, tetapi Anjani ragu, karena selama ini ia memang menghindar untuk berbicara apalagi untuk lebih dekat pada Taufik. Ba­ginya, Taufik akan besar kepala, jika harus diperhatikan. Tetapi, anggapan itu telah luntur, semenjak ia tahu, bahwa tidaklah benar Taufik telah menghinanya.
* * *
Anjani memang belum banyak mengenal siapa Taufik se­sungguhnya. Tetapi, sore ini ia telah mantap. Aku harus datang ke rumahnya, kata Anjani dalam hati.
Sama sekali tak pernah ia ketahui kalau Taufik ternyata tinggal di rumah kost.
"Kami memang anak rantau," kata Herman membuka per­cakapan setelah Anjani yang masih saja terheran-heran melihat kamar yang sempit tersebut.
"Taufik selalu menasihati saya agar tegar menjalani hidup. Kau lihat sendiri, apa yang kami miliki kecuali peralatan belajar dan alat dapur yang terbatas ini? Karena itulah saya tak percaya jika ada orang yang dengan tega menghina Taufik."
Anjani hanya diam.
"Kau sendiri mungkin tak percaya, untuk membayar SPP saja susahnya bukan main. Tetapi, kami lebih rela menghemat uang dapur daripada sekolah terbengkalai."
"Lalu apakah yang kalian kerjakan, maaf, maksud saya dari mana Taufik mendapatkan uang?" tanya Anjani penasaran.
"Aku tak boleh mengatakannya. Aku sudah berjanji."
Hari sudah senja, tetapi Taufik belum juga datang. Semen­tara itu, Herman tak mau mengatakan ke mana lelaki itu pergi, juga tidak akan menjelaskan mengapa Taufik tidak masuk sekolah pagi tadi.
Ingin Anjani pulang, tetapi batinnya mengatakan, lebih baik menunggu. Halus, lambat tapi pasti, ia mulai trenyuh men­dengar penuturan Herman bahwa Taufik, seperti juga Herman adalah anak rantau.
"Maaf, Anjani. Aku kecewa mendengar cerita Taufik bah­wa kau telah menghinanya di depan teman-teman. Aku ter­pukul, walau Taufik tidak. Kami memang orang kampung. Mungkin kau pun tak percaya bahwa kami ke Yogya hanya modal nekat, kami lari dari rumah."
"Apo?"
"Ya, selepas SMP, secara diam-diam, dengan tabungan ba­sil jualan bakso pada malam hari selama setahun, kami ber­angkat ke Yogya. Kami baru memberi kabar pada Ibu Pim­pinan Panti setelah sebulan kami berada di kota ini untuk me­lanjutkan sekolah. Ya, Taufik dan aku berasal dari kota yang sama, dari tempat yang sama, Panti Asuhan "Asuh Manun­tung". Jika aku mengenal siapa ayahku dan ibuku yang meng­ambil jalan sendiri-sendiri, Taufik tidak mengenal siapa ibunya, karena ia lahir sebagai anak tunggal dari rahim seorang ibu yang menghembuskan napasnya terakhir, saat ia lahir."
"Ayahnya?"
"Dua belas tahun setelah kematian ibunya, ayahnya pun
meninggal secara mengenaskan, karena tertimpa logs (kayu bundar) di pedalaman Sungai Mahakam. Ayahnya memang be­kerja di perusahaan kayu sebagai buruh."
Anjani semakin merasa tertekan.
"Karena itu aku kecewa mendengar kau menghinanya, An­jani."
Hari sudah gelap. Anjani semakin tak tahan lagi mendengar cerita Herman. Tetapi, nuraninya menggugat agar ia menunggu sampai Taufik datang dan ia dapat menyampaikan maafnya.
* * *
Merasa bahwa penantiannya hanya sia-sia dan malam se­makin larut, Anjani pun pulang setelah menitip pesan pada Herman bahwa ia tadi mencari-mencari Taufik.
Masih ada perasaan yang tergantung di lubuk hati Anjani. Tujuannya untuk bertemu Taufik menjadi sia-sia, walau masih ada hari esok.
Tanpa bertanya lagi berapa ongkosnya, Anjani memanggil abang becak dan meminta agar diantar ke Jalan Kauman.
Udara malam Yogya cukup bersahabat, semilir angin meng­gerai-geraikan rambut Anjani. Tak ada yang ia pikirkan selama dalam perjalanan pulang, kecuali bayang-bayang wajah Taufik. Pupus sudah kesan buruk tentang diri Taufik yang selama ini hadir di benaknya. Sesungguhnya Taufik memang bukan play boy Kalau toh dia dekat dengan beberapa gadis teman sekelas Anjani, tidaklah menjadi alasan untuk menjulukinya sebagai lelaki gombal. Ketidaksenangannya pada Taufik secara jujur harus ia akui sebagai kompensasi dari ketidaksenangannya melihat lelaki itu menjadi pusat perhatian teman-teman wanitanya di kelas.
"Nomor berapa rumahnya, Non?" kata abang becak. An­jani terkesiap, bukan saja karena rumahnya sudah lewat sekitar dua puluh meter, tetapi juga oleh suara abang becak yang amat dikenalnya.
"Ya, berhenti di sini." Ia lalu turun dan langsung menuju arah belakang seraya menyodorkan selembar uang seribu ru­piah.
"Untuk kau, gratis."
"Ya, Tuhan, kaukah itu, Taufik?" kata Anjani dengan suara lirih seraya menatap abang becak yang masih terdengar suara napasnya.
"Kau tak salah lihat, Anjani. Yuk, sampai jumpa."
"Taufik!" teriak Anjani, tetapi Taufik telah menggenjot lagi pedal becaknya meninggalkan Anjani yang masih terpaku de­ngan segala perasaan yang campur aduk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar